Ungkapan “orang baik selesai belakangan” tak selalu benar. Samurai pengasih bisa mendapatkan apa pun dengan tetap menjadi orang baik
SERIAL manga Jepang berjudul Samurai X yang sempat jadi hits di dunia, tentu bisa jadi contoh sempurna sebuah pribadi ksatria Jepang ideal, seperti yang digambarkan Brian Klemmer dalam buku The Compassionate Samurai. Bukan cuma pandai mengendalikan hawa nafsu, Kenshin sang samurai yang jadi tokoh utama, juga hidup berdasarkan Bushido (jalan ksatria terkait ketaatan pada nilai-nilai keberanian, kehormatan, dan kesetiaan pribadi).
Mungkin agak sulit untuk menemukan nilai-nilai kemuliaan atau sifat pengasih pada sosok Samurai seperti yang diekspos lewat buku atau film. Selama ini Samurai digambarkan sebagai golongan kasta kastria Jepang yang melewatkan hidup dengan bertempur dan membunuhi musuh demi melindungi orang yang diabdikannya.
Di dalam buku inilah, Klemmer mengupas kualitas terbaik dari seorang samurai. Ia memperluas aspek bushido dengan membuat istilah samurai pengasih untuk merujuk pada seseorang yang memiliki nilai-nilai kuat, yang dapat mewujudkan apa pun, sekaligus mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani.
Lalu mengapa begitu penting untuk bisa mencapai banyak hal sambil tetap memberi manfaat pada manusia lainnya? Ini karena begitu orang begitu yakin bahwa “penjahat”-lah yang selalu menang dalam hidup (baik ekonomi, kekuasaan, maupun cinta). Seperti yang diungkapkannya dalam pengantar:
Ingatlah masa-masa ketika anda SMA. Siapa yang berkencan dengan gadis paling cantik? Bukankah seringkali para cowok brengsek yang paling sembrono dan tak tahu aturan? Sebaliknya, pemuda yang baik, sopan, dan penuh perhatian justru tak punya pacar. Tragisnya, banyak dari kita justru menerima mentah-mentah paradigma ini sebagai cara menjalani hidup dan bersikap.
Secara intuitif, menurut Klemmer. Manusia tak percaya bahwa individu pengasih dapat membuat perbedaan yang nyata. Ini merupakan persoalan global yang nyata; tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Inilah sebabnya mengapa korupsi merajalela di negara berkembang. Orang-orang egois dengan mentalitas instan “orang-makan orang” yang sudah jadi rutin tampaknya menikmati gaya hidup mewah.
Sepertinya nilai-nilai Samurai Pengasih yang diusung Jenderal Robert E. Lee (pemimpin Konfederasi Perang Saudara Amerika), Salahuddin Al-Ayyubi (Ksatria Muslim dalam Perang Salib abad ke-12), dan Nelson Mandela (aktivis anti-apartheid dan mantan presiden Afrika Selatan) telah luntur oleh “kepalsuan” pencapaian yang ditunjukkan “orang biasa”.
Dalam The Compassionate Samurai, penulis mendaftar 10 pedoman hidup samurai pengasih: komitmen, tanggung jawab, pribadi, kontribusi, fokus, kejujurab, kehormatan, kepercayaan, kelimpahan, keberanian, dan pengetahuan.
Samurai Pengasih mungkin merupakan satu dari sekian buku-buku yang bersifat memotivasi perbaikan karakter demi peningkatan kualitas hidup (jiwa dan raga) seseorang, tapi penulis mengemukakannya dengan cukup blak-blakan dan amat relevan. Pembaca secara spontan langsung terbawa pada proses bercermin dan kadang juga mencari pembanding dengan pribadi yang mengitari kehidupan sehari-hari.
Salah satu yang cukup menyentuh adalah ketika disadarkan bahwa sedikit sekali dari orang masa kini yang mau berkomitmen pada hal kecil sekalipun karena khawatir tak bisa menjaganya. Padahal, mereka memang tak pernah berniat punya komitmen karena butuh berbagai upaya keras yang hanya akan menyulitkan hidup. Ini, kemudian disebut Klemmer sebagai tindakan cari aman karena tak ingin kewajiban memegang janji lantas membatasi pilihan untuk melakukan hal yang diinginkan. Tanpa sekadar menyalahkan, penulis memberikan contoh nyata bahwa komitmen dan perjanjian yang jadi dasar dari suatu peraturan adalah satu-satunya media menuju kekebasan sejati. Menariknya, ia menganalogikannya dengan sangat variatif, mulai dari komitmen berkendaraan hingga bermain bola dengan tim di lapangan.
Penulis juga sangat piawai memilih contoh-contoh figur kenamaan yang berhasil melewati masa berat kehidupannya berkat ciri samurai pengasih mereka. Sebut saja ikon TV Oprah Winfrey yang menolak karakter “orang biasa” dengan menyalahkan orang lain, hidup, dan Tuhan atas apa yang menimpa dirinya semasa kecil (dilecehkan secara seksual oleh anggota keluarganya).
Alih-alih menutup diri dan mengutuk dunia, Oprah bangkit dan menjadikan dirinya sosok paling berpengaruh sepanjang masa. Dengan kemampuannya ini, Oprah memiliki posisi yang jauh lebih baik untuk mengungkap setiap penganiayaan terhadap anak-anak di Amerika. Bayangkan kalau Oprah tak mau bertanggung jawab membangun perannya membantu sesama yang mengalami nasib serupa dan cuma menempatkan dirinya sebagai korban, berarti dia juga telah membatasi kekuataannya guna menolong jutaan orang untuk mendapatkan kemerdekaan mareka.
Salah satu pembahasan penulis yang juga sangat kontekstual dengan masa kini adalah pandangan umum mengenai kekurangan daripada kelimpahan. Kebanyakan “orang biasa” memilih berlebih-lebihan dalam materi untuk menutupi kekurangannya. Pola pikir kekurangan dalam menjelma dalam berbagai cara berbeda yang membuat manusia takkan pernah bahagia dan terus menerus menumpuk segala sesuatu yang ia kira bisa memenuhi kekurangannya, termasuk uang yang tak pernah dinikmati bersama orang-orang yang dicintai saking sibuknya.
Pertanyaan penulis dalam membahas ke-10 karakter ini adalah, seberapa siapkan pembaca menjadi samurai pengasih, orang luar biasa di antara yang kebanyakan (biasa). Buku ini juga mempertanyakan bagaimana pembaca mau menjawab tantangan menjadikan hidupnya maksimal dan menguntungkan banyak orang lainnya serta menyediakan jawaban agar menjadi berani tepat di hadapan rasa takut demi menjadi manusia yang menjalani hidup yang utuh.
Home »Unlabelled » Bergerak dari Prinsip Samurai
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar